Mengenal Leptospirosis

Posted on Juni 20, 2011

0


 

TUGAS MAKALAH PENYAKIT BAKTERIAL

LEPTOSPIROSIS

 

OLEH

DYTA KHARIS SETIAWAN

0909005075

KELAS B

 

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2011

 

 

KATA PENGANTAR

            Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa aats berkat limpahan kasih sayang dan rahmatNya yang memberikan kekuatan dalam penyusunan Makalah penyakit bakterial tentang Leptospirosis.

            Makalah ini berisi tentang seluk beluk penyakit leptospirosis yang sering menyerang hewan dan manusia karena sifatnya yang zoonosis. Mulai dari pengenalan sampai pengobatan dibahas dalam makalah ini. Penulis menyadari penulisan makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini,

            Demikian penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya dan semoga makalah bermanfaat bagi kita semua. Amin.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

Pendahuluan …………………………………………………………………………………………1

Etiologi ………………………………………………………………………………………………2

Epidemiologi …………………………………………………………………………………………3

Cara penularan………………………………………………………………………………………..4

Patogenesis……………………………………………………………………………………………5

Gejala Klinis………………………………………………………………………………………….6

Patologi Anatomi……………………………………………………………………………………..9

Diagnosa………………………………………………………………………………………………11

Pengobatan……………………………………………………………………………………………13

Pencegahan……………………………………………………………………………………………13

Daftar Pustaka…………………………………………………………………………………………15

 

 

 

 

 

 

 

 

LEPTOSPIROSIS

PENDAHULUAN

            Leptospirosis adalah penyakit akibat bakteri Leptospira sp. yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis). Leptospirosis dikenal juga dengan nama Penyakit Weil, Demam Icterohemorrhage, Penyakit Swineherd’s, Demam pesawah (Ricefield fever), Demam Pemotong tebu (Cane-cutter fever), Demam Lumpur, Jaundis berdarah, Penyakit Stuttgart, Demam Canicola , penyakit kuning non-virus, penyakit airmerah pada anak sapi, dan tifus anjing.

            Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. Penyakit dengan gejala tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai Weil’s Disease. Pada tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa “Weil’s Disease” disebabkan oleh bakteri Leptospira icterohemorrhagiae. Penyakit ini merupakan penyakit infeksi yang bersifat umum pada berbagai spesies hewan peliharaan. Leptospirosis juga ditemukan pada berbagai hewan liar, terutama pada binatang pengerat, yang biasanya berlaku sebagai hewan pembawa penyakit.

            Penyakit ini mempunyai arti penting ditinjau dari segi ekonomi peternakan dan kesehatan masyarakat. Bakteri Leptospira peka terhadap asam, tahan hidup di dalam air tawar selama satu bulan tetapi mudah mati dalam air laut, air selokan dan air kencing yang pekat. Kejadian leptospirosis di Indonesia telah dilaporkan sejak jaman Hindia Belanda dan secara epidemiologi telah dilaporkan diberbagai tempat di Jawa dan Bali.

 

 

 

 

 

 

 

ETIOLOGI

            Bakteri penyebab Leptosirosis yaitu bakteri Leptospira sp. Bakteri Leptospira merupakan Spirochaetaaerobik (membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup), motil (dapat bergerak), gram negatif, bentuknya dapat berkerut-kerut, dan terpilin dengan ketat. Bakteri Lepstospira berukuran panjang 6-20 µm dan diameter 0,1-0,2 µm. Sebagai pembanding, ukuran sel darah merah hanya 7 µm. Jadi, ukuran bakteri ini relatif kecil dan panjang sehingga sulit terlihat bila menggunakan mikroskop cahaya dan untuk melihat bakteri ini diperlukan mikroskop dengan teknik kontras. Bakteri ini dapat bergerak maju dan mundur.

            Leptospira mempunyai ±175 serovar, bahkan ada yang mengatakan Leptospira memiliki lebih dari 200 serovar. Infeksi dapat disebabkan oleh satu atau lebih serovar sekaligus. Bila infeksi terjadi, maka pada tubuh penderita dalam waktu 6-12 hari akan terbentuk zat kebal aglutinasi. Leptospirosis pada anjing disebabkan oleh infeksi satu atau lebih serovar dari Leptospira interrogans. Serovar yang telah diketahui dapat menyerang anjing yaitu L. australis, L. autumnalis, L. ballum, L. batislava, L. canicola, L. grippotyphosa, L. hardjo, L. ichterohemorarhagica, L. pomona, dan L. tarassovi. Pada anjing, telah tersedia vaksin terhadap Leptospira yang mengandung biakan serovar L. canicola dan L. icterohemorrhagica yang telah dimatikan. Serovar yang dapat menyerang sapi yaitu L. pamona dan L. gryptosa. Serovar yang diketahui terdapat pada kucing adalah L. bratislava, L. canicola, L. gryppothyphosa, dan L. pomona. Babi dapat terserang L. pamona dan L. interogans, sedangkan tikus dapat terserang L. ballum dan L. ichterohaemorhagicae. Bila terkena bahan kimia atau dimakan oleh fagosit, bakteri dapat kolaps menjadi bola berbentuk kubah dan tipis. Pada kondisi ini, Leptospira tidak memiliki aktifitas patogenik. Leptospira dapat hidup dalam waktu lama di air, tanah yang lembab, tanaman dan lumpur.  Bakteri leptospirasebagai penyebab leptospirosis berbentuk spiral termasuk ke dalam Ordo Spirochaetales dalam family Trepanometaceae. Lebih dari 170 serotipe leptospira yang pathogen telah diidentifikasi dan setengahnya terdapat di Indonesia. Leptospira peka terhadap asam dan hidup di dalam air tawar selama kurang lebih satu bulan, tetapi dalam air laut, air selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati.

Gambar 1. Bakteri leptospirosis sp. (Courtesy of Nuh ARKive, Universitas Georgia)

EPIDEMIOLOGI

            Leptospirosis terjadi di seluruh dunia, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, di daerah tropis maupun subtropis. Penyakit ini terutama beresiko terhadap orang yang bekerja di luar ruangan bersama hewan, misalnya peternak, petani, penjahit, dokter hewan, dan personel militer. Selain itu, Leptospirosis juga beresiko terhadap individu yang terpapar air yang terkontaminasi. Di daerah endemis, puncak kejadian Leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan banjir.

            Iklim yang sesuai untuk perkembangan Leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah dan pH alkalis, kondisi ini banyak ditemukan di negara beriklim tropis. Oleh sebab itu, kasus Leptospirosis 1000 kali lebih banyak ditemukan di negara beriklim tropis dibandingkan dengan negara subtropis dengan risiko penyakit yang lebih berat.. Angka kejadian Leptospirosis di negara tropis basah 5-20/100.000 penduduk per tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Oraganization/WHO) mencatat, kasus Leptospirosis di daerah beriklim subtropis diperkirakan berjumlah 0.1-1 per 100.000 orang setiap tahun, sedangkan di daerah beriklim tropis kasus ini meningkat menjadi lebih dari 10 per 100.000 orang setiap tahun. Pada saat wabah, sebanyak lebih dari 100 orang dari kelompok berisiko tinggi di antara 100.000 orang dapat terinfeksi.

            Di Indonesia, Leptospirosis tersebar antara lain di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Angka kematian Leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5-16,45 persen. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56 persen. Di beberapa publikasi angka kematian dilaporkan antara 3 persen – 54 persen tergantung sistem organ yang terinfeksi.

            Leptospirosis menular antar hewan terjadi melalui kontak dengan urin hewan yang terinfeksi, melaluikontakkelamin pada saat pacak (venereal) dan penularan induk ke janin (placental) dan atau luka gigitan. Peningkatan infeksi paling sering terjadi di kennel. Penularan secara tidak langsung terjadi karena terkontaminasinya sumber air, tempat makanan, tempat minuman dan bahkan kandang. Habitat Leptospira yaitu pada air yang tergenang dan air yang mengalir lambat. Biasanya penyakit akan meningkat pada musim banjir. Pada daerah kering, infeksi terjadi di daerah sumber air. Harapan hidup Leptospira akan berkurang apabila di bekukan. Hal ini menjelaskan kenapa infeksi lebih sering terjadi pada daerah tropis dan dapat terjadi setiap saat. Pada anjing penyakit ini tidak mengenal usia atau jenis kelamin, walaupun German Sheperd mungkin lebih beresiko dbanding kan dengan ras lain.

CARA PENULARAN

            Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui air (water borne disease). Urin (air kencing) dari individu yang terserang penyakit ini merupakan sumber utama penularan, baik pada manusia maupun pada hewan. Kemampuan Leptospira untuk bergerak dengan cepat dalam air menjadi salah satu faktor penentu utama ia dapat menginfeksi induk semang (host) yang baru. Hujan deras akan membantu penyebaran penyakit ini, terutama di daerah banjir. Gerakan bakteri memang tidak memengaruhi kemampuannya untuk memasuki jaringan tubuh namun mendukung proses invasi dan penyebaran di dalam aliran darah induk semang.

            Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir. Keadaan banjir menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya genangan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur, serta banyak timbunan sampah yang menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak. Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan hidung.. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama Leptospirosis, karena bertindak sebagai inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi. Beberapa hewan lain seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang Leptospirosis, tetapi potensi menularkan ke manusia tidak sebesar tikus.

            Bentuk penularan Leptospira dapat terjadi secara langsung dari penderita ke penderita dan tidak langsung melalui suatu media. Penularan langsung terjadi melalui kontak dengan selaput lendir (mukosa) mata (konjungtiva), kontak luka di kulit, mulut, cairan urin, kontak seksual dan cairan abortus (gugur kandungan). Penularan dari manusia ke manusia jarang terjadi.

            Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak hewan atau manusia dengan barang-barang yang telah tercemar urin penderita, misalnya alas kandang hewan, tanah, makanan, minuman dan jaringan tubuh. Kejadian Leptospirosis pada manusia banyak ditemukan pada pekerja pembersih selokan karena selokan banyak tercemar bakteri Leptospira. Umumnya penularan lewat mulut dan tenggorokan sedikit ditemukan karena bakteri tidak tahan terhadap lingkungan asam.

 

 

 

PATOGENESIS

             Pada anjing, bakteri ini dapat melakukan penetrasi dan memperbanyak diri pada membran mukosa atau kulit lalu akan masuk ke dalam aliran darah. Selanjutnya akan menginfeksi organ ginjal, hati, limpa, sistem saraf, mata dan saluran pencernaan. Bakteri ini lebih tahan lama dalam organ ginjal dan dapat bertahan selama beberapa minggu atau sampai sebulan dalam urin. Setelah 7-8 hari post infeksi, hewan akan dapat bertahan, kerusakan pada hati dan ginjal tidak terlalu kelihatan.

            Pada sapi lepstospira memasuki tubuh melalui selaput lendir, luka-luka pada kulit yang menjadi lebih lunak karena terkena air. Selanjutnya kuman tersebut akan terbawa ke berbagai bagian tubuh dan akan memperbanyak diri di hati, ginjal, kelenjar susu dan otak.organisme tersebut dapat ditemukan di dalam maupun di luar jaringan yang terkena. Pada beberapa hari setelah infeksi dapat ditemukan adanya fase leptospiremia (biasanya terjadi pada minggu pertama). Beberapa serovar akan menghasilkan endotoksin, sedangkan serovar yang lain akan menghasilkan hemolisin, yang berguna untuk merusak dinding kapiler darah hewan penderita. Pada reaksi yang berkepanjangan reaksi imunologik dapat timbul dan memperparah kerusakan jaringan. Kematian penderita leptospirosis karena adanya septisemia, anemia hemolitika, kerusakan hati beratnya penderitaan akan bervariasi tergantung dari umur dan spesies hewan penderita, serta jenis kuman leptospira itu sendiri.

            Setelah bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, maka bakteri akan mengalami multiplikasi (perbanyakan) di dalam darah dan jaringan. Selanjutnya akan terjadi leptospiremia, yakni penimbunan bakteri Leptospira di dalam darah sehingga bakteri akan menyebar ke berbagai jaringan tubuh terutama ginjal dan hati.

            Di ginjal kuman akan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen menyebabkan nefritis interstitial (radang ginjal interstitial) dan nekrosis tubular (kematian tubuli ginjal). Gagal ginjal biasanya terjadi karena kerusakan tubulus, hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Gangguan hati berupa nekrosis sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer. Pada konsisi ini akan terjadi perbanyakan sel Kupffer dalam hati. Leptospira juga dapat menginvasi otot skeletal menyebabkan edema, vakuolisasi miofibril, dan nekrosis fokal. Gangguan sirkulasi mikro muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia sirkulasi.

            Pada kasus berat akan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler dan radang pada pembuluh darah. Leptospira juga dapat menginvasi akuos humor mata dan menetap dalam beberapa bulan, sering mengakibatkan uveitis kronis dan berulang. Setelah infeksi menyerang seekor hewan, meskipun hewan tersebut telah sembuh, biasaya dalam tubuhnya akan tetap menyimpan bakteri Leptospira di dalam ginjal atau organ reproduksinya untuk dikeluarkan dalam urin selama beberapa bulan bahkan tahun.

 

GEJALA KLINIS

Pada Hewan

            Pada hewan, Leptospirosis kadangkala tidak menunjukkan gejala klinis (bersifat subklinis), dalam arti hewan akan tetap terlihat sehat walaupun sebenarnya dia sudah terserang Leptospirosis. Kucing yang terinfeksi biasanya tidak menunjukkan gejala walaupun ia mampu menyebarkan bakteri ini ke lingkungan untuk jangka waktu yang tidak pasti.

            Gejala klinis yang dapat tampak yaitu ikterus atau jaundis, yakni warna kekuningan, karena pecahnya butir darah merah (eritrosit) sehingga ada hemoglobin dalam urin. Gejala ini terjadi pada 50 persen kasus, terutama jika penyababnya L. pomona. Gejala lain yaitu demam, tidak nafsu makan, depresi, nyeri pada bagian-bagian tubuh, gagal ginjal, gangguan kesuburan, dan kadang kematian. Apabila penyakit ini menyerang ginjal atau hati secara akut maka gejala yang timbul yaitu radang mukosa mata (konjungtivitis), radanghidung (rhinitis), radang tonsil (tonsillitis), batuk dan sesak napas.

            Pada babi muncul gejala kelainan saraf, seperti berjalan kaku dan berputar-putar. Pada anjing yang sembuh dari infeksi akut kadangkala tetap mengalami radang ginjal interstitial kronis atau radang hati (hepatitis) kronis. Dalam keadaan demikian gejala yang muncul yaitu penimbunan cairan di abdomen (ascites), banyak minum, banyak urinasi, turun berat badan dan gejala saraf. Pada sapi, infeksi Leptospirosis lebih parah dan lebih banyak terjadi pada pedet dibandingkan sapi dewasa dengan gejala demam, jaundis, anemia, warna telinga maupun hidung yang menjadi hitam, dan kematian (Bovine Leptospirosis). Angka kematian (mortalitas) akibat Leptospirosis pada hewan mencapai 5-15 persen, sedangkan angka kesakitannya (morbiditas) mencapai lebih dari 75 persen.

            Pada sapi gejala berupa demam, anoreksia, dispnea dari kongesti paru, ikterus, hemoglobinuria, dan anemia hemolitik. Suhu tubuh naik secara tiba- tiba mencapai 40,5-41o C. hemoglobinuria jarang berlangsung lebih dari 48-72 jam. Anemia mulai membaik pada hari ke 4-5 dan kembali normal 7-10 hari kemudian. Pada sapi perah dapat menurunkan produksi susu 10-75% dan kembali normal pada 10-14 hari kemudian. Bentuk kronis bermanifestasi pada terjadinya abortus dengan infeksi Pomona dan hardjo. Umumnya terjadi 6-12 minggu setelah infeksi awal.

Pada Manusia

            Masa inkubasi Leptospirosis pada manusia yaitu 2 – 26 hari. Infeksi Leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang tanpa gejala, sehingga sering terjadi kesalahan diagnosa. Infeksi L. interrogans dapat berupa infeksi subklinis yang ditandai dengan flu ringan sampai berat, Hampir 15-40 persen penderita terpapar infeksi tidak bergejala tetapi serologis positif. Sekitar 90 persen penderita jaundis ringan, sedangkan 5-10 persen jaundis berat yang sering dikenal sebagai penyakit Weil. Perjalanan penyakit Leptospira terdiri dari 2 fase, yaitu fase septisemik dan fase imun. Pada periode peralihan fase selama 1-3 hari kondisi penderita membaik. Selain itu ada Sindrom Weil yang merupakan bentuk infeksi Leptospirosis yang berat.

Fase Septisemik

            Fase Septisemik dikenal sebagai fase awal atau fase leptospiremik karena bakteri dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh. Pada stadium ini, penderita akan mengalami gejala mirip flu selama 4-7 hari, ditandai dengan demam, kedinginan, dan kelemahan otot. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, nyeri kepala, takutcahaya, gangguan mental, radang selaput otak (meningitis), serta pembesaran limpa dan hati.

Fase Imun

            Fase Imun sering disebut fase kedua atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urin, dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi dari darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput otak, hati, mata atau ginjal.

            Jika yang diserang adalah selaput otak, maka akan terjadi depresi, kecemasan, dan sakit kepala. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan jaundis, pembesaran hati (hepatomegali), dan tanda koagulopati. Gangguan paru-paru berupa batuk, batuk darah, dan sulit bernapas. Gangguan hematologi berupa peradarahan dan pembesaran limpa (splenomegali). Kelainan jantung ditandai gagal jantung atau perikarditis. Meningitis aseptik merupakan manifestasi klinis paling penting pada fase imun.

            Leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul jaundis. Pada 30 persen pasien terjadi diare atau kesulitan buang air besar (konstipasi), muntah, lemah, dan kadang-kadang penurunan nafsu makan. Kadang-kadang terjadi perdarahan di bawah kelopak mata dan gangguan ginjal pada 50 persen pasien, dan gangguan paru-paru pada 20-70 persen pasien.

            Gejala juga ditentukan oleh serovar yang menginfeksi. Sebanyak 83 persen penderita infeksi L. icterohaemorrhagiae mengalami ikterus, dan 30 persen pada L. pomona. Infeksi L. grippotyphosa umumnya menyebabkan gangguan sistem pencernaan. Sedangkam L. pomona atau L. canicola sering menyebabkan radang selaput otak (meningitis).

Sindrom Weil

            Sindrom Weil adalah bentuk Leptospirosis berat ditandai jaundis, disfungsi ginjal, nekrosis hati, disfungsi paru-paru, dan diathesis perdarahan. Kondisi ini terjadi pada akhir fase awal dan meningkat pada fase kedua, tetapi bisa memburuk setiap waktu. Kriteria penyakit Weil tidak dapat didefinisikan dengan baik. Manifestasi paru meliputi batuk, kesulitan bernapas, nyeri dada, batuk darah, dan gagal napas. Disfungsi ginjal dikaitkan dengan timbulnya jaundis 4-9 hari setelah gejala awal. Penderita dengan jaundis berat lebih mudah terkena gagal ginjal, perdarahan dan kolap kardiovaskular. Kasus berat dengan gangguan hati dan ginjal mengakibatkan kematian sebesar 20-40 persen yang akan meningkat pada lanjut usia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PATOLOGI ANATOMI

            Pada sapi perubahan anatomi yang terjadi dapat berupa pembengkakan ginjal dan perubahan warna menjadi gelap dengan perdarahan petekie dan ecchymotic multifocal danterjadi focus pucat infiltrate pada sel interstitial. Hati mungkin membengkak, pucat dan gembur dengan nekrosis fokal yang luas. Pada serovar Hardjo lesi terbatas pada ginjal.

            Pada anjing perdarahan petekie dan ecchymotic di berbagai organ. Hati gembur dengan pola lobular dapat berubah warna menjadi coklat dan kekuningan. Ditemukan focus putih pada permukaan subscapular ginjal. Hati mengalami nekrosis, hepatitis non supuratif. Sel epitel tubular ginjal membengkak dan mengalami nekrosis. Reaksi inflamasi campuran pada ginjal. Akibatnya fatal adalah terjadinya gagal ginjal dan gagal hati.

Gambar 2. Hati anjing yang mati karena leptospirosis, tampak nekrosis multifocal (Courtesy of Nuh ARKive, Universitas Georgia)

Gambar 3. Nefritis interstitial dan nekrosis tubular multifocal pada ginjal penderita leptospirosis (Courtesy of Nuh ARKive, Universitas Georgia)

Gambar 4. Perdarahan multifocal pada vaskuler paru anjing penderita leptospirosis (Courtesy of Nuh ARKive, Universitas Georgia)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DIAGNOSA

            Untuk mendiagnosa Leptospirosis, maka hal yang perlu diperhatikan adalah riwayat penyakit, gejala klinis dan diagnosa penunjang. Sebagai diagnosa penunjang, antara lain dapat dilakukan pemeriksaan urin dan darah. Pemeriksaan urin sangat bermanfaat untuk mendiagnosa Leptospirosis karena bakteri Leptospira terdapat dalam urin sejak awal penyakit dan akan menetap hingga minggu ketiga. Cairantubuh lainnya yang mengandung Leptospira adalah darah, serebrospinal  tetapi rentang peluang untuk isolasi bakteri sangat pendek. Selain itu dapat dilakukan isolasi bakteri Leptospira dari jaringan lunak atau cairan tubuh penderita, misalnya jaringan hati, otot, kulit dan mata. Namun, isolasi Leptospira termasuk sulit dan membutuhkan waktu beberapa bulan.

            Untuk mengukuhkan diagnosa Leptospirosis biasanya dilakukan pemeriksaan serologis. Antibodi dapat ditemukan di dalam darah pada hari ke-5-7 sesudah adanya gejala klinis. Kultur atau pengamatan bakteri Leptospira di bawah mikroskop berlatar gelap umumnya tidak sensitif. Tes serologis untuk mengkonfirmasi infeksi Leptospirosis yaitu Microscopic agglutination test (MAT). Tes ini mengukur kemampuan serum darah pasien untuk mengagglutinasi bakteri Leptospira yang hidup. Namun, MAT tidak dapat digunakan secara spesifik pada kasus yang akut, yakni kasus yang terjadi secara cepat dengan gejala klinis yang parah. Selain itu, diagnosa juga dapat dilakukan melalui pengamatan bakteri Leptospira pada spesimen organ yang terinfeksi menggunakan imunofloresen.

            Diagnosa leptospirosis didasarkan pada kombinasi informasi sejarah sugestif, temuan fisik, temuan laboratorium spesifik dan pengujian konfirmasi. Seringkali serovar canicola dan gryppotyphosa dihubungkan dengan disfungsi ginjal dan penyakit hati, sedangkan serovar icterohaemorrhagieae dan Pomona mengakibatkan kerusakan hati dan ginjal. Konfirmasi serologis dapat dilakukan dengan deteksi produksi antibody. Deteksi langsung dapat dilakukan dengan kultur urin atau kultur darah, PCR, identifikasi DNA leptospira, pewarnaan FA air seni. Diagnosa dapat juga dilakukan dengan pewarnaan imunohistokimia dan pewarnaan perak.

 

Gambar 5. Nefritis tubulointerstitial purulolymphoplasmacytic pada penderita leptospirosis. Pewarnaan HE milik Nuh ARKive Universitas Georgia.

Gambar 6. Spirochetes Leptospira muncul sebagai benang hitam dalam lumina atau tubulus ginjal pewarnaan Van Orden milik Nuh ARKive Universitas Georgia.

Gambar 7. Spirochetes Leptospira noda merah coklat sepanjang luminal tubulus ginjal. Pewarnaan Imunoperoksidase milik Nuh ARKive Universitas Georgia.

PENGOBATAN

Pada Hewan

            Pengobatan yang dilakukan secara dini dapat mencegah kerusakan jaringan ginjal dan hati yang sifatnya permanen. Setelah gejala klinis terlihat, sebaiknya secepat mungkin diberikan suntikan streptomisin maupun oksitetrasiklin. Pada sapi untuk mengeliminasi leptospirosis dari kandung kemih penderita dapat digunakan streptomisin dosis tinggi, 25 mg/kgBB, dengan aplikasi pemberian secara intramuskuler (IM). Untuk mencegah kematian pada ternak yang disebabkan oleh terjadinya sepsis, dapat diberikan suntikan penicillin ataupun eritromisin. Akan tetapi ada juga yang melaporkan bahwa kedua obat tersebut kurang efektif terhadap radang ginjal kronik dan leptospiremia.

            Hewan, terutama hewan kesayangan, yang terinfeksi parah perlu diberikan perawatan intensif untuk menjamin kesehatanmasyarakat dan mengoptimalkan perawatan. Antibiotik yang dapat diberikan yaitu doksisiklin, enrofloksasin, ciprofloksasin atau kombinasi penisillin-streptomisin. Selain itu diperlukan terapi suportif dengan pemberian antidiare, antimuntah, dan infus. Golongan obat flouroquinolon seperti enrofloxacin juga bersifat leptospirosidal. Generasi pertama sefalosporin tidak efektif pada tahap penyakit. Terapi antibiotik dari natrium penisilin G, amfisilin, atau doksisiklin untuk menghilangkan fase leptospiremia.

Pada Manusia

            Leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin, ampisillin, atau amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat dapat diobati dengan penisillin G, ampisillin, amoksisillin dan eritromisin.

 

PENCEGAHAN

            Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan vaksin Leptospira. Vaksin Leptospira untuk hewan adalah vaksin inaktif dalam bentuk cair (bakterin) yang sekaligus bertindak sebagai pelarut karena umumnya vaksin Leptospira dikombinasikan dengan vaksin lainnya, misalnya distemper dan hepatitis. Vaksin Leptospira pada anjing yang beredar di Indonesia terdiri atas dua macam serovar yaitu L. canicola dan L. ichterohemorrhagiae. Vaksin Leptospira pada anjing diberikan saat anjing berumur 12 minggu dan diulang saat anjing berumur 14-16 minggu. Sistem kekebalan sesudah vaksinasi bertahan selama 6 bulan, sehingga anjing perlu divaksin lagi setiap enam bulan.

            Manusia rawan oleh infeksi semua serovar Leptospira sehingga manusia harus mewaspadai cemaran urin dari semua hewan. Perilaku hidup sehat dan bersih merupakan cara utama untuk menanggulangi Leptospirosis tanpa biaya. Manusia yang memelihara hewan kesayangan hendaknya selalu membersihkan diri dengan antiseptik setelah kontak dengan hewan kesayangan, kandang, maupun lingkungan di mana hewan berada.

            Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami penyakit ini. Pemberantasan tikus terkait langsung dengan pemberantasan Leptospirosis. Selain itu, para peternak babi dihimbau untuk mengandangkan ternaknya jauh dari sumber air. Fesesternak perlu diarahkan ke suatu sumber khusus sehingga tidak mencemari lingkungan terutama sumber air.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Darryl. Leptospirosis pada Anjing dan Kucing.

Ernawati Kholis, 2008. Journal Leptospirosis Sebagai Penyakit Pasca Banjir serta Pencegahannya. Tahun     25 Nomor 274 Juli 2008. Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi Jakarta.

Setiawan I Made,  2008. Journal Pemeriksaan Laboratorium untuk Mendiagnosis Penyakit Leptospirosis.     Media Libtang Kesehatan XVIII nomor 1 Tahun 2008.

Soeharsono (2007). Penyakit Zoonotik pada Anjing dan Kucing, Yogyakarta : Kanisius

Soeripto, 2002. Journal Pendekatan Konsep Kesehatan Hewan Melalui Vaksinasi. Tahun 2002        21(2).Balai Penelitian Veteriner  Bogor.

Yatim Faisal (2001). Macam- macam Penyakit Menular, Jakarta : Pustaka Populer Obor

http://www.pojok-vet.com/article/35-peternakan/129-leptospirosis-pada-ternak.html akses tanggal 15 Mei    2011 09:34 PM

http://www.vet.uga.edu/vpp/clerk/noel/index.php akses tanggal 15 Mei 2011 10:04 PM

http://www.merckvetmanual.com/mvm/index.jsp%3Fcfile%3Dhtm/bc/51202.htm&usg=ALkJrhgI5RdiqFqQImQqdeITEmgm8MDonQ akses tanggal 15 Mei 2011 10:33 PM

www.vet-indo.com/Kasus-Medis/Leptospirosis.html akses tanggal 15 Mei 2011 10:59 PM

www.wrongdiagnosis.com/l/leptospirosis/intro.htm akses tanggal 15 Mei 2011 11:20 PM

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

           

 

 

 

 

 

v\:* {behavior:url(#default#VML);}
o\:* {behavior:url(#default#VML);}
w\:* {behavior:url(#default#VML);}
.shape {behavior:url(#default#VML);}

Normal
0
false

false
false
false

EN-US
X-NONE
X-NONE

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:”Times New Roman”;
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}

LEPTOSPIROSIS

PENDAHULUAN

            Leptospirosis adalah penyakit akibat bakteri Leptospira sp. yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis). Leptospirosis dikenal juga dengan nama Penyakit Weil, Demam Icterohemorrhage, Penyakit Swineherd’s, Demam pesawah (Ricefield fever), Demam Pemotong tebu (Cane-cutter fever), Demam Lumpur, Jaundis berdarah, Penyakit Stuttgart, Demam Canicola , penyakit kuning non-virus, penyakit airmerah pada anak sapi, dan tifus anjing.

            Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. Penyakit dengan gejala tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai Weil’s Disease. Pada tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa “Weil’s Disease” disebabkan oleh bakteri Leptospira icterohemorrhagiae. Penyakit ini merupakan penyakit infeksi yang bersifat umum pada berbagai spesies hewan peliharaan. Leptospirosis juga ditemukan pada berbagai hewan liar, terutama pada binatang pengerat, yang biasanya berlaku sebagai hewan pembawa penyakit.

            Penyakit ini mempunyai arti penting ditinjau dari segi ekonomi peternakan dan kesehatan masyarakat. Bakteri Leptospira peka terhadap asam, tahan hidup di dalam air tawar selama satu bulan tetapi mudah mati dalam air laut, air selokan dan air kencing yang pekat. Kejadian leptospirosis di Indonesia telah dilaporkan sejak jaman Hindia Belanda dan secara epidemiologi telah dilaporkan diberbagai tempat di Jawa dan Bali.

 

 

 

 

 

 

 

ETIOLOGI

            Bakteri penyebab Leptosirosis yaitu bakteri Leptospira sp. Bakteri Leptospira merupakan Spirochaetaaerobik (membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup), motil (dapat bergerak), gram negatif, bentuknya dapat berkerut-kerut, dan terpilin dengan ketat. Bakteri Lepstospira berukuran panjang 6-20 µm dan diameter 0,1-0,2 µm. Sebagai pembanding, ukuran sel darah merah hanya 7 µm. Jadi, ukuran bakteri ini relatif kecil dan panjang sehingga sulit terlihat bila menggunakan mikroskop cahaya dan untuk melihat bakteri ini diperlukan mikroskop dengan teknik kontras. Bakteri ini dapat bergerak maju dan mundur.

            Leptospira mempunyai ±175 serovar, bahkan ada yang mengatakan Leptospira memiliki lebih dari 200 serovar. Infeksi dapat disebabkan oleh satu atau lebih serovar sekaligus. Bila infeksi terjadi, maka pada tubuh penderita dalam waktu 6-12 hari akan terbentuk zat kebal aglutinasi. Leptospirosis pada anjing disebabkan oleh infeksi satu atau lebih serovar dari Leptospira interrogans. Serovar yang telah diketahui dapat menyerang anjing yaitu L. australis, L. autumnalis, L. ballum, L. batislava, L. canicola, L. grippotyphosa, L. hardjo, L. ichterohemorarhagica, L. pomona, dan L. tarassovi. Pada anjing, telah tersedia vaksin terhadap Leptospira yang mengandung biakan serovar L. canicola dan L. icterohemorrhagica yang telah dimatikan. Serovar yang dapat menyerang sapi yaitu L. pamona dan L. gryptosa. Serovar yang diketahui terdapat pada kucing adalah L. bratislava, L. canicola, L. gryppothyphosa, dan L. pomona. Babi dapat terserang L. pamona dan L. interogans, sedangkan tikus dapat terserang L. ballum dan L. ichterohaemorhagicae. Bila terkena bahan kimia atau dimakan oleh fagosit, bakteri dapat kolaps menjadi bola berbentuk kubah dan tipis. Pada kondisi ini, Leptospira tidak memiliki aktifitas patogenik. Leptospira dapat hidup dalam waktu lama di air, tanah yang lembab, tanaman dan lumpur.  Bakteri leptospirasebagai penyebab leptospirosis berbentuk spiral termasuk ke dalam Ordo Spirochaetales dalam family Trepanometaceae. Lebih dari 170 serotipe leptospira yang pathogen telah diidentifikasi dan setengahnya terdapat di Indonesia. Leptospira peka terhadap asam dan hidup di dalam air tawar selama kurang lebih satu bulan, tetapi dalam air laut, air selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati.

Gambar 1. Bakteri leptospirosis sp. (Courtesy of Nuh ARKive, Universitas Georgia)

EPIDEMIOLOGI

            Leptospirosis terjadi di seluruh dunia, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, di daerah tropis maupun subtropis. Penyakit ini terutama beresiko terhadap orang yang bekerja di luar ruangan bersama hewan, misalnya peternak, petani, penjahit, dokter hewan, dan personel militer. Selain itu, Leptospirosis juga beresiko terhadap individu yang terpapar air yang terkontaminasi. Di daerah endemis, puncak kejadian Leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan banjir.

            Iklim yang sesuai untuk perkembangan Leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah dan pH alkalis, kondisi ini banyak ditemukan di negara beriklim tropis. Oleh sebab itu, kasus Leptospirosis 1000 kali lebih banyak ditemukan di negara beriklim tropis dibandingkan dengan negara subtropis dengan risiko penyakit yang lebih berat.. Angka kejadian Leptospirosis di negara tropis basah 5-20/100.000 penduduk per tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Oraganization/WHO) mencatat, kasus Leptospirosis di daerah beriklim subtropis diperkirakan berjumlah 0.1-1 per 100.000 orang setiap tahun, sedangkan di daerah beriklim tropis kasus ini meningkat menjadi lebih dari 10 per 100.000 orang setiap tahun. Pada saat wabah, sebanyak lebih dari 100 orang dari kelompok berisiko tinggi di antara 100.000 orang dapat terinfeksi.

            Di Indonesia, Leptospirosis tersebar antara lain di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Angka kematian Leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5-16,45 persen. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56 persen. Di beberapa publikasi angka kematian dilaporkan antara 3 persen – 54 persen tergantung sistem organ yang terinfeksi.

            Leptospirosis menular antar hewan terjadi melalui kontak dengan urin hewan yang terinfeksi, melaluikontakkelamin pada saat pacak (venereal) dan penularan induk ke janin (placental) dan atau luka gigitan. Peningkatan infeksi paling sering terjadi di kennel. Penularan secara tidak langsung terjadi karena terkontaminasinya sumber air, tempat makanan, tempat minuman dan bahkan kandang. Habitat Leptospira yaitu pada air yang tergenang dan air yang mengalir lambat. Biasanya penyakit akan meningkat pada musim banjir. Pada daerah kering, infeksi terjadi di daerah sumber air. Harapan hidup Leptospira akan berkurang apabila di bekukan. Hal ini menjelaskan kenapa infeksi lebih sering terjadi pada daerah tropis dan dapat terjadi setiap saat. Pada anjing penyakit ini tidak mengenal usia atau jenis kelamin, walaupun German Sheperd mungkin lebih beresiko dbanding kan dengan ras lain.

CARA PENULARAN

            Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui air (water borne disease). Urin (air kencing) dari individu yang terserang penyakit ini merupakan sumber utama penularan, baik pada manusia maupun pada hewan. Kemampuan Leptospira untuk bergerak dengan cepat dalam air menjadi salah satu faktor penentu utama ia dapat menginfeksi induk semang (host) yang baru. Hujan deras akan membantu penyebaran penyakit ini, terutama di daerah banjir. Gerakan bakteri memang tidak memengaruhi kemampuannya untuk memasuki jaringan tubuh namun mendukung proses invasi dan penyebaran di dalam aliran darah induk semang.

            Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir. Keadaan banjir menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya genangan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur, serta banyak timbunan sampah yang menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak. Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan hidung.. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama Leptospirosis, karena bertindak sebagai inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi. Beberapa hewan lain seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang Leptospirosis, tetapi potensi menularkan ke manusia tidak sebesar tikus.

            Bentuk penularan Leptospira dapat terjadi secara langsung dari penderita ke penderita dan tidak langsung melalui suatu media. Penularan langsung terjadi melalui kontak dengan selaput lendir (mukosa) mata (konjungtiva), kontak luka di kulit, mulut, cairan urin, kontak seksual dan cairan abortus (gugur kandungan). Penularan dari manusia ke manusia jarang terjadi.

            Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak hewan atau manusia dengan barang-barang yang telah tercemar urin penderita, misalnya alas kandang hewan, tanah, makanan, minuman dan jaringan tubuh. Kejadian Leptospirosis pada manusia banyak ditemukan pada pekerja pembersih selokan karena selokan banyak tercemar bakteri Leptospira. Umumnya penularan lewat mulut dan tenggorokan sedikit ditemukan karena bakteri tidak tahan terhadap lingkungan asam.

 

 

 

PATOGENESIS

             Pada anjing, bakteri ini dapat melakukan penetrasi dan memperbanyak diri pada membran mukosa atau kulit lalu akan masuk ke dalam aliran darah. Selanjutnya akan menginfeksi organ ginjal, hati, limpa, sistem saraf, mata dan saluran pencernaan. Bakteri ini lebih tahan lama dalam organ ginjal dan dapat bertahan selama beberapa minggu atau sampai sebulan dalam urin. Setelah 7-8 hari post infeksi, hewan akan dapat bertahan, kerusakan pada hati dan ginjal tidak terlalu kelihatan.

            Pada sapi lepstospira memasuki tubuh melalui selaput lendir, luka-luka pada kulit yang menjadi lebih lunak karena terkena air. Selanjutnya kuman tersebut akan terbawa ke berbagai bagian tubuh dan akan memperbanyak diri di hati, ginjal, kelenjar susu dan otak.organisme tersebut dapat ditemukan di dalam maupun di luar jaringan yang terkena. Pada beberapa hari setelah infeksi dapat ditemukan adanya fase leptospiremia (biasanya terjadi pada minggu pertama). Beberapa serovar akan menghasilkan endotoksin, sedangkan serovar yang lain akan menghasilkan hemolisin, yang berguna untuk merusak dinding kapiler darah hewan penderita. Pada reaksi yang berkepanjangan reaksi imunologik dapat timbul dan memperparah kerusakan jaringan. Kematian penderita leptospirosis karena adanya septisemia, anemia hemolitika, kerusakan hati beratnya penderitaan akan bervariasi tergantung dari umur dan spesies hewan penderita, serta jenis kuman leptospira itu sendiri.

            Setelah bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, maka bakteri akan mengalami multiplikasi (perbanyakan) di dalam darah dan jaringan. Selanjutnya akan terjadi leptospiremia, yakni penimbunan bakteri Leptospira di dalam darah sehingga bakteri akan menyebar ke berbagai jaringan tubuh terutama ginjal dan hati.

            Di ginjal kuman akan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen menyebabkan nefritis interstitial (radang ginjal interstitial) dan nekrosis tubular (kematian tubuli ginjal). Gagal ginjal biasanya terjadi karena kerusakan tubulus, hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Gangguan hati berupa nekrosis sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer. Pada konsisi ini akan terjadi perbanyakan sel Kupffer dalam hati. Leptospira juga dapat menginvasi otot skeletal menyebabkan edema, vakuolisasi miofibril, dan nekrosis fokal. Gangguan sirkulasi mikro muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia sirkulasi.

            Pada kasus berat akan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler dan radang pada pembuluh darah. Leptospira juga dapat menginvasi akuos humor mata dan menetap dalam beberapa bulan, sering mengakibatkan uveitis kronis dan berulang. Setelah infeksi menyerang seekor hewan, meskipun hewan tersebut telah sembuh, biasaya dalam tubuhnya akan tetap menyimpan bakteri Leptospira di dalam ginjal atau organ reproduksinya untuk dikeluarkan dalam urin selama beberapa bulan bahkan tahun.

 

GEJALA KLINIS

Pada Hewan

            Pada hewan, Leptospirosis kadangkala tidak menunjukkan gejala klinis (bersifat subklinis), dalam arti hewan akan tetap terlihat sehat walaupun sebenarnya dia sudah terserang Leptospirosis. Kucing yang terinfeksi biasanya tidak menunjukkan gejala walaupun ia mampu menyebarkan bakteri ini ke lingkungan untuk jangka waktu yang tidak pasti.

            Gejala klinis yang dapat tampak yaitu ikterus atau jaundis, yakni warna kekuningan, karena pecahnya butir darah merah (eritrosit) sehingga ada hemoglobin dalam urin. Gejala ini terjadi pada 50 persen kasus, terutama jika penyababnya L. pomona. Gejala lain yaitu demam, tidak nafsu makan, depresi, nyeri pada bagian-bagian tubuh, gagal ginjal, gangguan kesuburan, dan kadang kematian. Apabila penyakit ini menyerang ginjal atau hati secara akut maka gejala yang timbul yaitu radang mukosa mata (konjungtivitis), radanghidung (rhinitis), radang tonsil (tonsillitis), batuk dan sesak napas.

            Pada babi muncul gejala kelainan saraf, seperti berjalan kaku dan berputar-putar. Pada anjing yang sembuh dari infeksi akut kadangkala tetap mengalami radang ginjal interstitial kronis atau radang hati (hepatitis) kronis. Dalam keadaan demikian gejala yang muncul yaitu penimbunan cairan di abdomen (ascites), banyak minum, banyak urinasi, turun berat badan dan gejala saraf. Pada sapi, infeksi Leptospirosis lebih parah dan lebih banyak terjadi pada pedet dibandingkan sapi dewasa dengan gejala demam, jaundis, anemia, warna telinga maupun hidung yang menjadi hitam, dan kematian (Bovine Leptospirosis). Angka kematian (mortalitas) akibat Leptospirosis pada hewan mencapai 5-15 persen, sedangkan angka kesakitannya (morbiditas) mencapai lebih dari 75 persen.

            Pada sapi gejala berupa demam, anoreksia, dispnea dari kongesti paru, ikterus, hemoglobinuria, dan anemia hemolitik. Suhu tubuh naik secara tiba- tiba mencapai 40,5-41o C. hemoglobinuria jarang berlangsung lebih dari 48-72 jam. Anemia mulai membaik pada hari ke 4-5 dan kembali normal 7-10 hari kemudian. Pada sapi perah dapat menurunkan produksi susu 10-75% dan kembali normal pada 10-14 hari kemudian. Bentuk kronis bermanifestasi pada terjadinya abortus dengan infeksi Pomona dan hardjo. Umumnya terjadi 6-12 minggu setelah infeksi awal.

Pada Manusia

            Masa inkubasi Leptospirosis pada manusia yaitu 2 – 26 hari. Infeksi Leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang tanpa gejala, sehingga sering terjadi kesalahan diagnosa. Infeksi L. interrogans dapat berupa infeksi subklinis yang ditandai dengan flu ringan sampai berat, Hampir 15-40 persen penderita terpapar infeksi tidak bergejala tetapi serologis positif. Sekitar 90 persen penderita jaundis ringan, sedangkan 5-10 persen jaundis berat yang sering dikenal sebagai penyakit Weil. Perjalanan penyakit Leptospira terdiri dari 2 fase, yaitu fase septisemik dan fase imun. Pada periode peralihan fase selama 1-3 hari kondisi penderita membaik. Selain itu ada Sindrom Weil yang merupakan bentuk infeksi Leptospirosis yang berat.

Fase Septisemik

            Fase Septisemik dikenal sebagai fase awal atau fase leptospiremik karena bakteri dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh. Pada stadium ini, penderita akan mengalami gejala mirip flu selama 4-7 hari, ditandai dengan demam, kedinginan, dan kelemahan otot. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, nyeri kepala, takutcahaya, gangguan mental, radang selaput otak (meningitis), serta pembesaran limpa dan hati.

Fase Imun

            Fase Imun sering disebut fase kedua atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urin, dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi dari darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput otak, hati, mata atau ginjal.

            Jika yang diserang adalah selaput otak, maka akan terjadi depresi, kecemasan, dan sakit kepala. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan jaundis, pembesaran hati (hepatomegali), dan tanda koagulopati. Gangguan paru-paru berupa batuk, batuk darah, dan sulit bernapas. Gangguan hematologi berupa peradarahan dan pembesaran limpa (splenomegali). Kelainan jantung ditandai gagal jantung atau perikarditis. Meningitis aseptik merupakan manifestasi klinis paling penting pada fase imun.

            Leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul jaundis. Pada 30 persen pasien terjadi diare atau kesulitan buang air besar (konstipasi), muntah, lemah, dan kadang-kadang penurunan nafsu makan. Kadang-kadang terjadi perdarahan di bawah kelopak mata dan gangguan ginjal pada 50 persen pasien, dan gangguan paru-paru pada 20-70 persen pasien.

            Gejala juga ditentukan oleh serovar yang menginfeksi. Sebanyak 83 persen penderita infeksi L. icterohaemorrhagiae mengalami ikterus, dan 30 persen pada L. pomona. Infeksi L. grippotyphosa umumnya menyebabkan gangguan sistem pencernaan. Sedangkam L. pomona atau L. canicola sering menyebabkan radang selaput otak (meningitis).

Sindrom Weil

            Sindrom Weil adalah bentuk Leptospirosis berat ditandai jaundis, disfungsi ginjal, nekrosis hati, disfungsi paru-paru, dan diathesis perdarahan. Kondisi ini terjadi pada akhir fase awal dan meningkat pada fase kedua, tetapi bisa memburuk setiap waktu. Kriteria penyakit Weil tidak dapat didefinisikan dengan baik. Manifestasi paru meliputi batuk, kesulitan bernapas, nyeri dada, batuk darah, dan gagal napas. Disfungsi ginjal dikaitkan dengan timbulnya jaundis 4-9 hari setelah gejala awal. Penderita dengan jaundis berat lebih mudah terkena gagal ginjal, perdarahan dan kolap kardiovaskular. Kasus berat dengan gangguan hati dan ginjal mengakibatkan kematian sebesar 20-40 persen yang akan meningkat pada lanjut usia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PATOLOGI ANATOMI

            Pada sapi perubahan anatomi yang terjadi dapat berupa pembengkakan ginjal dan perubahan warna menjadi gelap dengan perdarahan petekie dan ecchymotic multifocal danterjadi focus pucat infiltrate pada sel interstitial. Hati mungkin membengkak, pucat dan gembur dengan nekrosis fokal yang luas. Pada serovar Hardjo lesi terbatas pada ginjal.

            Pada anjing perdarahan petekie dan ecchymotic di berbagai organ. Hati gembur dengan pola lobular dapat berubah warna menjadi coklat dan kekuningan. Ditemukan focus putih pada permukaan subscapular ginjal. Hati mengalami nekrosis, hepatitis non supuratif. Sel epitel tubular ginjal membengkak dan mengalami nekrosis. Reaksi inflamasi campuran pada ginjal. Akibatnya fatal adalah terjadinya gagal ginjal dan gagal hati.

Gambar 2. Hati anjing yang mati karena leptospirosis, tampak nekrosis multifocal (Courtesy of Nuh ARKive, Universitas Georgia)

Gambar 3. Nefritis interstitial dan nekrosis tubular multifocal pada ginjal penderita leptospirosis (Courtesy of Nuh ARKive, Universitas Georgia)

Gambar 4. Perdarahan multifocal pada vaskuler paru anjing penderita leptospirosis (Courtesy of Nuh ARKive, Universitas Georgia)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DIAGNOSA

            Untuk mendiagnosa Leptospirosis, maka hal yang perlu diperhatikan adalah riwayat penyakit, gejala klinis dan diagnosa penunjang. Sebagai diagnosa penunjang, antara lain dapat dilakukan pemeriksaan urin dan darah. Pemeriksaan urin sangat bermanfaat untuk mendiagnosa Leptospirosis karena bakteri Leptospira terdapat dalam urin sejak awal penyakit dan akan menetap hingga minggu ketiga. Cairantubuh lainnya yang mengandung Leptospira adalah darah, serebrospinal  tetapi rentang peluang untuk isolasi bakteri sangat pendek. Selain itu dapat dilakukan isolasi bakteri Leptospira dari jaringan lunak atau cairan tubuh penderita, misalnya jaringan hati, otot, kulit dan mata. Namun, isolasi Leptospira termasuk sulit dan membutuhkan waktu beberapa bulan.

            Untuk mengukuhkan diagnosa Leptospirosis biasanya dilakukan pemeriksaan serologis. Antibodi dapat ditemukan di dalam darah pada hari ke-5-7 sesudah adanya gejala klinis. Kultur atau pengamatan bakteri Leptospira di bawah mikroskop berlatar gelap umumnya tidak sensitif. Tes serologis untuk mengkonfirmasi infeksi Leptospirosis yaitu Microscopic agglutination test (MAT). Tes ini mengukur kemampuan serum darah pasien untuk mengagglutinasi bakteri Leptospira yang hidup. Namun, MAT tidak dapat digunakan secara spesifik pada kasus yang akut, yakni kasus yang terjadi secara cepat dengan gejala klinis yang parah. Selain itu, diagnosa juga dapat dilakukan melalui pengamatan bakteri Leptospira pada spesimen organ yang terinfeksi menggunakan imunofloresen.

            Diagnosa leptospirosis didasarkan pada kombinasi informasi sejarah sugestif, temuan fisik, temuan laboratorium spesifik dan pengujian konfirmasi. Seringkali serovar canicola dan gryppotyphosa dihubungkan dengan disfungsi ginjal dan penyakit hati, sedangkan serovar icterohaemorrhagieae dan Pomona mengakibatkan kerusakan hati dan ginjal. Konfirmasi serologis dapat dilakukan dengan deteksi produksi antibody. Deteksi langsung dapat dilakukan dengan kultur urin atau kultur darah, PCR, identifikasi DNA leptospira, pewarnaan FA air seni. Diagnosa dapat juga dilakukan dengan pewarnaan imunohistokimia dan pewarnaan perak.

 

Gambar 5. Nefritis tubulointerstitial purulolymphoplasmacytic pada penderita leptospirosis. Pewarnaan HE milik Nuh ARKive Universitas Georgia.

Gambar 6. Spirochetes Leptospira muncul sebagai benang hitam dalam lumina atau tubulus ginjal pewarnaan Van Orden milik Nuh ARKive Universitas Georgia.

Gambar 7. Spirochetes Leptospira noda merah coklat sepanjang luminal tubulus ginjal. Pewarnaan Imunoperoksidase milik Nuh ARKive Universitas Georgia.

PENGOBATAN

Pada Hewan

            Pengobatan yang dilakukan secara dini dapat mencegah kerusakan jaringan ginjal dan hati yang sifatnya permanen. Setelah gejala klinis terlihat, sebaiknya secepat mungkin diberikan suntikan streptomisin maupun oksitetrasiklin. Pada sapi untuk mengeliminasi leptospirosis dari kandung kemih penderita dapat digunakan streptomisin dosis tinggi, 25 mg/kgBB, dengan aplikasi pemberian secara intramuskuler (IM). Untuk mencegah kematian pada ternak yang disebabkan oleh terjadinya sepsis, dapat diberikan suntikan penicillin ataupun eritromisin. Akan tetapi ada juga yang melaporkan bahwa kedua obat tersebut kurang efektif terhadap radang ginjal kronik dan leptospiremia.

            Hewan, terutama hewan kesayangan, yang terinfeksi parah perlu diberikan perawatan intensif untuk menjamin kesehatanmasyarakat dan mengoptimalkan perawatan. Antibiotik yang dapat diberikan yaitu doksisiklin, enrofloksasin, ciprofloksasin atau kombinasi penisillin-streptomisin. Selain itu diperlukan terapi suportif dengan pemberian antidiare, antimuntah, dan infus. Golongan obat flouroquinolon seperti enrofloxacin juga bersifat leptospirosidal. Generasi pertama sefalosporin tidak efektif pada tahap penyakit. Terapi antibiotik dari natrium penisilin G, amfisilin, atau doksisiklin untuk menghilangkan fase leptospiremia.

Pada Manusia

            Leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin, ampisillin, atau amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat dapat diobati dengan penisillin G, ampisillin, amoksisillin dan eritromisin.

 

PENCEGAHAN

            Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan vaksin Leptospira. Vaksin Leptospira untuk hewan adalah vaksin inaktif dalam bentuk cair (bakterin) yang sekaligus bertindak sebagai pelarut karena umumnya vaksin Leptospira dikombinasikan dengan vaksin lainnya, misalnya distemper dan hepatitis. Vaksin Leptospira pada anjing yang beredar di Indonesia terdiri atas dua macam serovar yaitu L. canicola dan L. ichterohemorrhagiae. Vaksin Leptospira pada anjing diberikan saat anjing berumur 12 minggu dan diulang saat anjing berumur 14-16 minggu. Sistem kekebalan sesudah vaksinasi bertahan selama 6 bulan, sehingga anjing perlu divaksin lagi setiap enam bulan.

            Manusia rawan oleh infeksi semua serovar Leptospira sehingga manusia harus mewaspadai cemaran urin dari semua hewan. Perilaku hidup sehat dan bersih merupakan cara utama untuk menanggulangi Leptospirosis tanpa biaya. Manusia yang memelihara hewan kesayangan hendaknya selalu membersihkan diri dengan antiseptik setelah kontak dengan hewan kesayangan, kandang, maupun lingkungan di mana hewan berada.

            Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami penyakit ini. Pemberantasan tikus terkait langsung dengan pemberantasan Leptospirosis. Selain itu, para peternak babi dihimbau untuk mengandangkan ternaknya jauh dari sumber air. Fesesternak perlu diarahkan ke suatu sumber khusus sehingga tidak mencemari lingkungan terutama sumber air.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Darryl. Leptospirosis pada Anjing dan Kucing.

Ernawati Kholis, 2008. Journal Leptospirosis Sebagai Penyakit Pasca Banjir serta Pencegahannya. Tahun     25 Nomor 274 Juli 2008. Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi Jakarta.

Setiawan I Made,  2008. Journal Pemeriksaan Laboratorium untuk Mendiagnosis Penyakit Leptospirosis.     Media Libtang Kesehatan XVIII nomor 1 Tahun 2008.

Soeharsono (2007). Penyakit Zoonotik pada Anjing dan Kucing, Yogyakarta : Kanisius

Soeripto, 2002. Journal Pendekatan Konsep Kesehatan Hewan Melalui Vaksinasi. Tahun 2002        21(2).Balai Penelitian Veteriner  Bogor.

Yatim Faisal (2001). Macam- macam Penyakit Menular, Jakarta : Pustaka Populer Obor

http://www.pojok-vet.com/article/35-peternakan/129-leptospirosis-pada-ternak.html akses tanggal 15 Mei    2011 09:34 PM

http://www.vet.uga.edu/vpp/clerk/noel/index.php akses tanggal 15 Mei 2011 10:04 PM

http://www.merckvetmanual.com/mvm/index.jsp%3Fcfile%3Dhtm/bc/51202.htm&usg=ALkJrhgI5RdiqFqQImQqdeITEmgm8MDonQ akses tanggal 15 Mei 2011 10:33 PM

www.vet-indo.com/Kasus-Medis/Leptospirosis.html akses tanggal 15 Mei 2011 10:59 PM

www.wrongdiagnosis.com/l/leptospirosis/intro.htm akses tanggal 15 Mei 2011 11:20 PM

Posted in: Uncategorized